Wellcome

Wilujeng sumping di jendela STIE Muttaqien Purwakarta, apa adanya tapi gagah

Sabtu, 02 Agustus 2008

Di Kala Masyarakat Bertanya

Heraklitus, filosof asal Yunani Kuno itu pernah bersabda, bahwa kita harus mempertahankan kemapanan dengan cara terus-menerus berubah. Apa yang ia katakan, tentu tidak persis semacam itu. Saya hanya menyadur pikiran Heraklitus itu kedalam bahasa saya sendiri, untuk tidak membuat ruwet sebuah bahasan. Sungguh, si filosof ini begitu cerdas dalam menyuguhkan sebuah hidangan intelektual yang otentik. Ia berfirman kepada umat manusia, bahwa jika seorang anak manusia hendak mempertahankan sebuah kedigjayaan, maka satu-satunya cara paling terjamin adalah dengan cara terus-menerus melakukan perubahan. Sepintas lalu, sabdanya itu memang terasa kontradiktif. Tetapi cermatilah secara lebih seksama, agar mendapat pemahaman yang holistik mengenai pikiran-pikiran segarnya.
Mengejawantahkan intisari pikiran Heraklitus kedalam aspek kehidupan kita sehari-hari, tentulah tak terlalu ruwet. Sebagai bagian integral dari proses pemanusiaan manusia, STIE Muttaqien sebagai lembaga juga bisa belajar dari Heraklitus. Saya tidak berpretensi bahwa STIE Muttaqien ini merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sudah mapan: memiliki banyak mahasiswa, menghasilkan ribuan alumni yang kompten untuk mengisi berbagai lini kehidupan, kampus yang lengkap dengan segala fasilitas, dosen dan aparatur staf yang cerdas dan layak, serta segala kelebihan lainnya. Tetapi, ketika nama lembaga ini sudah ada, setidaknya dalam kaca mata saya, STIE Muttaqien ini sudah hidup. Kehidupan ini tentu saja sebagai anugerah, mesti diperlakukan sedemikian rupa, agar tarikan nafasnya stabil.
Ada pepatah mengatakan, bahwa mempertahankan lebih sulit daripada membangun. Bisa benar pepatah ini. Tetapi lebih dari sekedar berkata benar dan tidak benar, kita sudah diperhadapkan pada berbagai tantangan dan persaingan yang secara kontinyu terus menggerus keberadaan kita. Berbagai lembaga pendidikan hadir, mengada, dan mewarnai jagat Nusantara ini. Bahkan secara global, kita diperhadapkan pada tantangan-tantangan yang berat. Lalu apa yang bisa kita "jual" sebagai manipestasi kedigjayaan kita kepada publik? Di tengah carut marutnya wajah bangsa ini dengan lilitan kompleksitas problematika akut, apa yang bisa diberikan oleh lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya STIE Muttaqien?
Bangsa ini butuh solusi, bukan wacana-wacana di langit. Atau, jikapun bangsa ini butuh wacana, maka wacana yang dibutuhkan haruslah berkarakter cerdas, pragmatis, dan membawa kemaslahatan bagi semesta alam. Bangsa ini butuh suntikan-suntikan vitamin yang dapat mempergemuk tubuh-tubuh kurus rakyatnya yang selalu, dan selalu tertindas. Bangsa ini butuh meriam atau bom nuklir yang bisa meluluhlantakkan manusia-manusia korup, tikus-tikus berdasi, yang menggerogoti kekayaan alam ini dengan menari-nari di atas jeritan rakyat miskin. Lalu jika bangsa ini membutuhkan itu semua, solusi macam apa yang bisa ditawarkan lembaga pendidikan terhadap bangsa ini?
Menjawab tantangan ini dengan segala perangkat dan konsekwensinya, tentu bukanlah perkara mudah layaknya membalik telapak tangan. Ada segudang persiapan yang mesti terukur, agar semua orientasi dan visi yang akan kita tawarkan kepada bangsa ini benar-benar tepat guna dan dapat memberdayakan. Jika suguhan solusi yang kita hadirkan berupa rangkaian kalimat mati, maka itu sama artinya dengan mempertontonkan ketololan kita sebagai lembaga terdidik yang memiliki kapasitas mencetak sarjana-sarjana berkualitas. Ironis. dan pasti sangat ironis.
Lebih ironis lagi adalah ketika kehadiran lembaga pendidikan diharapkan sebagai mesin penggerak daya kreativitas intelektual masyarakat, nyatanya di tingkat lembaga sendiri sudah mengalami kemandulan. Daya cerap dan daya kritis lembaga terhadap persoalan-persoalan rakyat tak pernah terbukti sebagai bagian dari konsentrasi pikirannya. Belitan problem yang mengerangkeng kehidupan masyarakat tak sampai benar-benar terpecahkan oleh kaum yang menamakan diri intelektual itu.
Pertanyaan fundamental dari semua rangkain deskriptif pemikiran di atas adalah, bagaimana bisa sebuah lembaga pendidikan berani menawarkan sebuah jasa diri untuk meminimalisir keadaan bangsa ini di tengah gonjang-ganjing ekonomi dan berbagai aspek krisis segmentasi kehidupan lainnya, jika dirinya saja belum bisa benar-benar hidup dan bernafas dengan normal? Bagaimana bisa sebuah perguruan tinggi melahirkan sarjana-sarjana siap berjuang, jika perangkat dan proses penggodokan mahasiswanya saja masih jauh dari hiruk-pikuk keilmuan memadai? Bagaimana bisa sebuah lembaga pendidikan membangun kedigjayaan dirinya, jika dengan masyarakat sekitarnya saja masih tehalang oleh hijab ketidakpedulian? Asal tahu saja, bahwa calon-calon mahasiswa yang akan kita godok itu berasal dari masyarakat. Sementara jika masyarakatnya tidak pernah disentuh, apa pula macam kepedulian masyarakat terhadap penawaran-penawaran perguruan tinggi yang menjanjikan seribu kebahagiaan?
Dalam kondisi seperti ini, dalam kondisi persinggungan masyarakat dan lembaga pendidikan tidak terjalin secara solid, maka saya kira tak ada salahnya jika perguruan tinggi sekarang hadir hanya dalam papan nama dan spanduknya saja. Sementara mahasiswa dan proses dialektika pemikiran yang seyogyanya muncul tak pernah benar-benar muncul. Lalu hendak disimpan dimana muka kita?
Atas dasar itulah saya mengajak kepada siapapun yang terlanjur basah berenang di lautan ilmu untuk melakukan otokritik sekaligus pembongkaran identitas kita secara totalitas, agar semua kedok kemunafikan yang selama ini dijadikan tameng sesegera mungkin ditanggalkan. Mengapa? Karena semua masyarakat dewasa ini sudah cerdas-cerdas, sehingga retorika kepalsuan yang kita tawarkan hanya akan menjadi olok-olok mereka di warung kopi atau di pematang sawah ketika para petani mencangkul sebagai wujud nyata dalam mengabdikan dirinya kepada bangsa.
Hari ini masyarakat butuh kepastian, butuh rangkulan, butuh bukti: jika anak saya sedianya harus digodok di lembaga anu, maka apa pula macam jaminan yang bisa menjadikan anak saya sebagai intelektual otentik, bukan sarjana karbitan?
Nah, jika masyarakat bertanya demikian, kira-kira kalimat apa yang semestinya disampaikan sebagai jawaban meyakinkan?